Banda Aceh - TERNYATA langkah untuk mengakhiri konflik dualisme kepengurusan Golkar belum juga usai. Padahal, kedua kubu sudah menempuh jalan penyelesaian yang diperintah oleh UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, yaitu melalui Mahkamah Partai Politik (Pasal 32). Hal ini disebabkan anggota Mahkamah Partai Golkar (MPG) saling berbeda pendapat. Meski dua hakim berpendapat bahwa Munas Ancol yang sah, namun dua hakim lainnya justru membenarkan langkah hukum pihak kubu Bali melalui Pengadilan Negeri dan Mahkamah Agung (MA).
Keempat hakim atau minimal tiga hakim tidak memiliki kesatuan pendapat tentang Munas mana yang diakui secara tegas di dalam amar putusan bersama.

Akibat tidak adanya penyelesaian perselisihan yang bersifat final dan mengikat sebagaimana dimaksud UU No.2 Tahun 2011 Pasal 32 ayat 50, maka penyelesaian perselisihan selanjutnya dilakukan melalui pengadilan negeri yang membutuhkan waktu paling lama 60 hari, dan paling lama 30 hari di MA (Pasal 33 ayat 1, 2 dan 3).

Konflik lanjutan langsung terjadi usai palu MPG diketuk oleh Ketua MPG, Muladi. Pihak Agung mengklaim sebagai pihak yang dimenangkan. Sebaliknya, pihak Ical menolak klaim pihak Agung. Dan kedua pihak juga menuju Menkumham untuk dua maksud berbeda. Pihak Agung menyampaikan kepengurusan hasil Munas Ancol paska putusan MPG agar segera disahkan. Sebaliknya, pihak Ical menyampaikan putusan MPG yang dipahami tidak menyelesaikan perselisihan dan karena itu penyelesaian berikutnya akan dilakukan di pengadilan negeri.

Bukan hanya itu, pihak Agung langsung melakukan kontak ke daerah-daerah untuk mengabarkan kemenangan, dan meminta daerah untuk tenang karena Menkumham diyakini akan segera memutuskan untuk mengakui kepengurusan hasil Munas Ancol. Dengan logika politik sebagai pihak yang lebih didukung karena mendukung pemerintah hasil Pilpres 2014, pihak Agung yakin Menkumham akan memihak mereka.

Sebaliknya, pihak Ical mengambil langkah mengumpulkan semua DPD I untuk memastikan bahwa tidak ada penyelesaian perselisihan di MPG, dan untuk itu akan ditempuh langkah hukum di pengadilan negeri.

Dengan logika hukum, pihak Ical bisa jadi juga akan mengambil langkah hukum kepada DPD I dan DPD II yang terdeteksi melakukan pemalsuan surat untuk keperluan legalitas kehadiran ke Munas Ancol. Pihak Ical malah menantang untuk membuktikan dukungan DPD I dan DPD II sebagaimana yang mereka lakukan paska putusan MPG.

Semua langkah yang saling bertolak-belakang di antara dua kubu yang bertikai ini, menjadi sinyal bahwa konflik kepengurusan yang dimotori para senior dikedua kubu akan semakin dalam, meluas dan bisa jadi merusak. Apalagi bila pemerintah yang dibelakangnya berdiri partai politik mencoba menitipkan kepentingannya untuk mendukung satu kubu, dan atau menghancurkan kubu lain di Golkar. Sudah pasti konflik Golkar akan semakin rumit, dan pada akhirnya menghancurkann golkar.

Sebagaimana dipahami, pemerintahan saat ini adalah “milik” dari beberapa partai politik yang pada Pilpres 2014 saling berkonflk dengan pihak yang kalah di Pilpres. Bahkan, paska Pilpres partai politik terbelah dalam dua dikotomi yang saling berseberangan, yaitu KIH dan KMP. Golkar sendiri menjadi salah satu “otak” yang menentukan di KMP, yang dalam pertarungan politik di parlemen berhasil mengalahkan KIH, secara telak.

Sementara konflik di Golkar sendiri juga berlangsung dalam pola yang sama, saling berseberangan. Kubu Golkar yang saat ini berkuasa di Golkar, yaitu kubu Bali secara tegas mengambil jarak dengan pemerintah melalui KMP. Posisi ini ditentang oleh kubu Ancol yang justru sejak awal menegaskan sebagai kubu pendukung pemerintah. Peran Jusuf Kalla terhadap kehadiran dan sepak terjang kubu Ancol sangat kentara terlihat, bisa dirasakan, sekaligus diyakini dapat memberi pengaruh pada kecil besarnya api konflik di Golkar.

Dengan relasi politik sedemikian rupa, bukan tidak mungkin kubu Ancol akan dibantu untuk diakui kepengurusannya, sekalipun kubu Bali memiliki pandangan berbeda terhadap putusan MPG. Sebaliknya, dengan bekal legalitas dan legitimasi yang kuat, sudah pasti kubu Bali akan melakukan perlawanan, termasuk membawa ke ranah hukum Menkumham bila berani mengakui kubu Ancol. Kemenangan PPP di pengadilan atas Menkumham memberi energi tambahan bagi kubu Bali untuk membela diri.

Jalan keluar
 “Pat ujeun yang tan pirang, pat prang yang tan reuda.” Petuah hadih madja Aceh ini menegaskan bahwa selalu ada jalan keluar dari konflik. Prasyaratnya tentu bila kedua pucuk pimpinan di dua kubu menghidupkan tombol moral simpati dihati mereka. Baik Ical ataupun Agung harus menyadari bahwa tidak ada pihak yang menang dijalan konflik. Konflik keduanya, meski akhirnya bisa dibantu menangkan oleh Menkumham atau pengadilan negeri, tetap saja yang menanggung rugi adalah Golkar sebagai partai politik.

Kader-kader muda Golkar adalah pihak yang akan menanggung rugi besar dari konflik internal yang diaktori oleh kader senior di Golkar. Rasa hormat kader muda kepada senior sangat mungkin akan hancur. Kader muda bisa saja menilai bahwa persaingan bebas para senior hanya semata untuk kepentingan akumulasi kapital politik yang bermanfaat ekonomi untuk para senior semata. Terbukti keberadaan para senior semasa masih di pemerintahan atau dikepengurusan DPP Golkar sama sekali tidak membawa manfaat bagi kebesaran Golkar. Semua senior aktif dalam kelakar Aceh disebut Cina saboh geudong.

Sebagai kader yang tidak mungkin bergantung pada politik uang dalam kompetisi politik, sudah pasti yang paling diharapkan oleh kader muda adalah nama besar Partai Golkar. Tanpa nama besar partai yang didukung oleh keteladanan senior, maka sangat tidak mungkin bagi kader muda untuk ikut serta dalam kompetisi politik yang bersih dan sehat.

Itu artinya, konflik yang diawaki para senior di kedua kubu, dan ketidakmampuan para senior di MPG menyelesaikan konflik secara tegas dan tuntas, secara otomatis telah menimbulkan demoralisasi dikalangan kader muda. Lebih dari itu, konflik panjang juga akan mengikis militansi kader muda. Kader muda Golkar pasti tidak bisa lagi diandalkan militansinya di kompetisi politik Pilkada untuk membantu pemenangan calon yang diusung, atau didukung oleh Golkar.

Untuk itu, baik Ical ataupun Agung, ada baiknya mengalah dan mengambil jalan untuk menciptakan momentum politik baru, berupa segera menggelar Munas Luar Biasa, untuk memberi jalan bagi kader muda guna berkompetisi secara demokratis, dengan tetap menghormati aspek legalitas agar siapa pun yang terpilih tetap kaya legitimasi. Apa yang terjadi pada kedua kubu saat ini tidak boleh lagi terjadi, yaitu miskin legalitas tapi demokratis karena itu dipandang sah, sedangkan kaya legitimasi tapi kurang demokratis dan karena itu tidak dipandang sah. Legalitas dan demokratis haruslah berimbang. Keduanya tidak boleh saling mengurangi karena negara ini adalah negara hukum, juga negara demokrasi.

Inilah jalan keluar yang memenangkan semua. Jika jalan ini yang diambil maka sejarah akan mencatat bahwa Ical dan Agung adalah aktor kunci di Golkar yang berani menciptakan mementum politik untuk menyambut tantangan politik baru dengan mempercepat kader muda menjadi pemimpin puncak Golkar.

Published by Admin

Politik Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat Aceh