BANDA ACEH - Paska pengesahan UU No. 6/2014 atau yang lebih dikenal dengan Undang-Undang Desa, diikuti dengan pengesahan beberapa PP tentang petunjuk pelaksanaan dan mengenai mekanisme pengelolaan Dana Desa yang bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN), maka ada pergeseran signifikan dalam paradigma dan mekanisme pengelolaan anggaran di desa.

Dengan kehadiran UU No. 6/2014 menegaskan pengakuan otonomi desa dalam menentukan prioritas pembangunan dan penggunaan dana. Perluasan kewenangan tersebut diharapkan akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan pemberdayaan masyarakat desa. Sehingga pola pembangunan selama ini yang lebih berpusat pada perkotaan, bisa bergeser ke pedesaan. Mengingat sebagian besar penduduk Indonesia masih tinggal di desa.

Dalam UU No. 6/2014 pendekatan yang digunakan dalam pembangunan desa adalah “Desa Membangun” dan “Membangun Desa” yang diintegrasikan dalam perencanaan Pembangunan Desa. Pendekatan ini merupakan kritik terhadap model kebijakan pembangunan desa sebelumnya. Dalam UU No. 32/2004 tidak dikenal konsep pembangunan berskala lokal desa, yang dikenal hanya konsep pembangunan kawasan perdesaan.

Konsep pembangunan desa seperti ini membawa konsekuensi prakarsa pemerintah supra desa lebih dominan. Peran desa terpinggirkan sehingga prakarsa desa menggerakkan pembangunan menjadi lemah. Konsep “Desa Membangun” memastikan bahwa Desa adalah subyek utama pembangunan desa. Konsep ini sangat relevan dengan kewenangan lokal berskala desa dan hak asal-usul. Konsep “Desa Membangun” menegaskan bahwa desa berhak untuk merencanakan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi pembangunan secara mandiri berdasarkan prakarsa lokal desa. Makna”Membangun Desa” menunjuk pembangunan desa oleh pemerintah supra desa. Desa tentu memiliki keterbatasan menangani sendiri semua persoalan, sehingga kehadiran supra desa untuk ikut ulur tangan membangun desa tetap diharapkan.

UU No. 6/2014 mengamanatkan pemerintah supra desa tidak boleh melakukan imposisi (meminggirkan desa) yang justru mematikan emansipasi desa. Perpaduan dua konsep pembangunan desa tersebut dalam koridor rekognisi, subsidiaritas, dan inklusivisme sehingga dapat menghindarkan desa dari isolasi dan imposisi oleh supra desa.

UU No 6/2014 tentang Desa merupakan regulasi yang penting dalam upaya memajukan desa. UU Desa juga merupakan peluang bagi desa untuk menata ulang desa, memajukan dan memenuhi hak warga desa serta menjamin tata kelola pemerintahan yang berdaulat, mandiri dan demokratis. Tetapi tidak hanya sebagai peluang, UU Desa juga memiliki sejumlah tantangan misalnya soal kesiapan aparatur pemerintahan desa, lembaga-lembaga desa lainnya, serta warga masyarakat masing-masing desa untuk menjadi subyek pembangunan, kesiapan pemerintah kabupaten dan kecamatan dalam menyiapkan seperangkat aturan guna mendukung pelaksanaan UU Desa, mendampingi dan memfasilitasi desa serta mendorong keterlibatan kelompok marjinal dan kelompok rentan dalam tata kelola pemerintahan desa.

Ada beberapa isu utama yang perlu diperhatikan paska pengesahan UU No. 6/2014 antara lain.

  1. Tata Aturan Kewenangan dan Asal usul Asli Desa
  2. Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan RAPB Des yang Partisipatif dan sesuai ketentuan
  3. Pengelolaan Dana Desa
  4. Monitoring dan Evaluasi Kegiatan – Kegiatan dengan Pembiayaan Dana Desa
  5. Pembentukan dan Pengembangan BUMDES
  6. Pola Pendampingan Masyarakat Miskin oleh Pemerintah dan Masyarakat

Disamping itu, ada beberapa hal titik kritis terhadap pelaksanaan UU No. 6/2014 bila keadilan dan tata kelola desa yang demokratis tidak dapat ditegakkan, yaitu :

  • Desa mudah direkayasa secara melalui praktek “mobilisasi partisipasi” sebagaimana tergambarkan dalam praktek tumpang tindih program/proyek masuk ke desa
  • Muncul ketergantungan desa kepada “dana bantuan” dan melemahnya kemampuan desa mendayagunakan sumberdaya lokal
  • Ketidakberdayaan desa untuk mengelola sumberdayanya sendiri ini juga dipengaruhi oleh adanya ketidakmampuan desa dalam memetakan aset-aset yang dimilikinya termasuk juga mennetukan batas wilayah desanya
  • Tanpa adanya kemampuan untuk merumuskan pendayagunaan sumberdaya desa termasuk dana desa yang diperoleh dari negara sebagai modal pembangunan ekonomi, maka sumberdaya desa menjadi tidak produktif bahkan cenderung dana desa yang berasal dari negara hanya menopang daya beli Desa
  • Terbuka peluang munculnya kekuasaan desa yang berkecenderungan meminggirkan kelompok-kelompok miskin-marginal, perempuan, anak-anak, warga disabilitas dll.

Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan UU Desa

Urgenitas pengawalan terhadap implementasi UU No. 6/2014 tentang Desa, Senator Fachrur Razi anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Aceh, Minggu (27/9/2015) dalam kunjungan kerjanya melaksanakan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) di kantor Forum LSM Aceh di Banda Aceh guna menginventarisir materi terkait implementasi UU Desa.

Adapun Kegiatan FGD ini mengusung tema Kesiapan Pemerintah Daerah Dalam Pelaksanaan UU Desa dan terselenggara atas kerjasama Senator Fachrur Razi anggota DPD RI dengan Forum LSM Aceh. Jumlah partisipan dalam FGD ini sebanyak 35 orang yang dihadirkan mewakili unsur Pemerintahan Gampong, Mukim, Legeslatif, Akademisi, LSM/NGO, Media, Tokoh Masyarakat, unsur Perempuan, Organisasi Kepemudaan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM).

Dalam kesempatan tersebut Senator Fachrur Razi menyatakan bahwa kehadiran UU No. 6/2014 menegaskan pengakuan otonomi desa dalam menentukan prioritas pembangunan dan penggunaan dana. pengakuan otonomi desa dalam menentukan prioritas pembangunan dan penggunaan dana. Desa berhak untuk merencanakan, melaksanakan, monitoring dan evaluasi pembangunan secara mandiri berdasarkan prakarsa lokal desa.

Menurutnya proses melakukan pengawalan terhadap implementasi UU Desa menjadi penting untuk dilakukan oleh berbagai komponen terutama organisasi masyarakat sipil di Aceh. ‘’Untuk memastikan implementasi UU Desa berjalan dengan baik, maka kita membentuk Kaukus Penguatan Gampong/Desa dan kami mengajak berbagai elemen di Aceh untuk bergabung di kaukus tersebut guna melakukan pengawalan implementasi UU Desa sehingga berdampak bagi terwujudnya Desa/Gampong yang mandiri dan sejahtera ,’’ tegasnya.

Sementara itu, Sekjen Forum LSM Aceh, Roys Vahlevi mengungkapkan masih terdapat titik kritis dalam implementasi UU Desa tersebut. ’’Titik kritis terjadi bila Keadilan dan Tata Kelola Demokrasi di Desa tidak terbentuk. Salah satu dampaknya adalah terbukanya peluang munculnya kekuasaan desa yang berkecenderungan meminggirkan kelompok-kelompok miskin-marginal, perempuan, anak-anak, warga disabilitas,’’ ujarnya.

’’Untuk itu, menjadi relevan, bila semua pihak yang ada di Aceh ini bertanggung jawab untuk mengawal penerapan UU Desa agar benar-benar berdaya guna dalam meningkatkan kemandirian dan kesejahteraan Gampong/Desa,’’ tandasnya.

Dalam kegiatan FGD ini didapatkan beberapa titik rawan yang harus dikawal penerapannya, diantaranya : 1) Tata Aturan Kewenangan dan Asal usul Asli Desa. 2) Penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa dan RAPB Des yang Partisipatif dan sesuai ketentuan. 3) Pengelolaan Dana Desa. 4) Monitoring dan Evaluasi Kegiatan – Kegiatan dengan Pembiayaan Dana Desa. 5) Pembentukan dan Pengembangan BUMDES dan 6) Pola Pendampingan Masyarakat Miskin oleh Pemerintah dan Masyarakat.

Kegiatan FGD ini juga menghasilkan beberapa rekomendasi dan rencana strategis dalam rangka mendukung implementasi UU Desa di Aceh. Kuncinya terletak pada keadilan dan tata kelola demokrasi di Gampong/Desa. Diantaranya: terbentuknya kaukus penguatan desa/gampong, wadah pengelolaan pembelajaran (knowledge management) pembangunan desa/gampong dan pusat dan pusat pengaduan terkait dengan implementasi UU Desa dalam bentuk sms center.

Published by Admin

Politik Untuk Keadilan dan Kesejahteraan Rakyat Aceh