Perdebatan terhadap rencana penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh atau APBA tahun 2017 dengan Peraturan Gubernur (Pergub) terus mengalir di Aceh. Maklum, APBA tersebut menyangkut nasib Aceh. Selain itu, penetapannya dengan Pergub tidak lazim walaupun turut diatur dalam peraturan perundang-undangan.
APBA (di luar Aceh disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah/APBD provinsi), lazimnya ditetapkan dengan Qanun Aceh (di luar Aceh disebut Peraturan Daerah/Perda provinsi) atas persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dengan gubernur.
Apa beda qanun dan Pergub?
Dalam UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh (UUPA) disebutkan, “Qanun Aceh adalah peraturan perundang-undangan sejenis peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh”.
“Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Aceh yang selanjutnya disebut Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah Provinsi Aceh yang ditetapkan dengan Qanun Aceh”.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Perda provinsi merupakan salah satu jenis peraturan perundang-undangan yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) provinsi dengan persetujuan bersama gubernur.
“Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan menjadi Peraturan Daerah Provinsi,” bunyi pasal 78 ayat (1) UU 12/2011.
Di sisi lain, Peraturan Gubernur (Pergub) juga merupakan jenis peraturan perundang-undangan, sebagaimana disebutkan dalam pasal 8 ayat (1) UU 12/2011. Namun, Pergub baru diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan. Hal itu dijelaskan dalam pasal 8 ayat (2) UU 12/2011.
Artinya, perbedaan paling mendasar antara Perda provinsi dengan Pergub terletak pada kewenangan pembentukan. Selain itu, secara hierarki, kedudukan Perda provinsi lebih tinggi dari Pergub.
Payung hukum versi qanun
Pasal 197 UUPA menyebutkan, “Tata cara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, perubahan, perhitungan, pertanggungjawaban dan pengawasan APBA/APBK, diatur dalam qanun dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan”.
Dalam Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Keuangan Aceh, diatur tentang penyusunan APBA. Di antaranya, pasal 80 ayat (1): “Gubernur berdasarkan RKPA dan pedoman penyusunan APBA sebagaimana dimaksud dalam pasal 79 ayat (1), menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS”. RKPA ialah Rencana Kerja Pemerintah Aceh. KUA dan PPAS adalah Kebijakan Umum Anggaran, dan Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara.
Ayat (2): “Dalam menyusun Rancangan KUA dan Rancangan PPAS sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur dibantu oleh TAPA yang dipimpin oleh Sekretaris Aceh.” TAPA ialah Tim Anggaran Pemerintah Aceh.
Ayat (3): “Rancangan KUA dan Rancangan PPAS yang telah disusun sebagaimana dimaksud pada ayat (1), disampaikan oleh Sekretaris Aceh selaku Ketua TAPA kepada Gubernur paling lambat pada minggu pertama bulan Juni”.
Pasal 82 ayat (1): “Rancangan KUA dan Rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam pasal 80 ayat (3) disampaikan Gubernur kepada DPRA paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBA tahun anggaran berikutnya”.
Ayat (2): “Pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh TAPA bersama DPRA,” dan ayat (3): “Rancangan KUA dan Rancangan PPAS yang telah dibahas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) selanjutnya disepakati menjadi KUA dan PPAS paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berjalan”.
Pasal 98 ayat (1): “Gubernur menyampaikan rancangan Qanun tentang APBA beserta lampirannya kepada DPRA paling lambat pada minggu pertama bulan Oktober tahun anggaran sebelumnya dari tahun yang direncanakan untuk mendapatkan persetujuan bersama”, dan ayat (2): “Penyampaian rancangan Qanun sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Nota Keuangan”.
Pasal 100 ayat (1): “Pengambilan keputusan dan persetujuan bersama DPRA dan Gubernur terhadap rancangan Qanun tentang APBA dilakukan paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan”, dan ayat (2): “Atas dasar persetujuan bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur menyiapkan rancangan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBA”.
Pasal 102 ayat (1): “Apabila DPRA sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (1) tidak menetapkan persetujuan bersama dengan Gubernur terhadap rancangan Qanun tentang APBA, Gubernur melaksanakan pengeluaran paling tinggi sebesar angka APBA tahun anggaran sebelumnya”, dan ayat (2): “Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diprioritaskan untuk belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib.”
Ayat (3): “Belanja yang bersifat mengikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan belanja yang dibutuhkan secara terus menerus dan harus dialokasikan oleh Pemerintah Aceh dengan jumlah yang cukup untuk keperluan dalam tahun anggaran yang bersangkutan, seperti belanja pegawai, belanja barang dan jasa”, dan ayat (4): “Belanja yang bersifat wajib adalah belanja untuk terjaminnya kelangsungan pemenuhan pendanaan pelayanan dasar masyarakat antara lain pendidikan dan kesehatan dan/atau melaksanakan kewajiban kepada pihak ketiga”.
Pasal 111 ayat (1): “Rancangan Qanun Aceh tentang APBA yang telah dievaluasi dan telah disempurnakan bersama antara Gubernur dan DPRA ditetapkan menjadi Qanun tentang APBA dalam rapat paripurna DPRA”, dan ayat (2): “Penetapan Rancangan Qanun Aceh tentang APBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.”
Ayat (3): “Untuk memenuhi asas transparansi, Gubernur wajib menginformasikan substansi Qanun Aceh tentang APBA yang telah diundangkan dalam lembaran daerah kepada masyarakat,” dan ayat (4): “Berdasarkan Qanun Aceh tentang APBA sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Gubernur menetapkan Peraturan Gubernur tentang Penjabaran APBA”.
Ayat (5): “Dalam hal Gubernur berhalangan tetap, maka Wakil Gubernur atau pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang selaku penjabat/pelaksana tugas Gubernur yang menetapkan Qanun Aceh tentang APBA dan Peraturan Gubernur Aceh tentang Penjabaran APBA,” dan ayat (6): “Gubernur menyampaikan Qanun Aceh tentang APBA dan Peraturan Gubernur Aceh tentang Penjabaran APBA kepada Menteri Dalam Negeri paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah ditetapkan”.
Payung hukum versi Permendagri
Menteri Dalam Negeri (Mendagri) saban tahun menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri atau Permendagri tentang Pedoman Penyusunan APBD. Untuk APBD 2017 mengacu kepada Permendagri Nomor 31 tahun 2016.
Dalam Permendagri 31/2016 itu diuraikan secara jelas pedoman penyusunan APBD 2017. Misalnya, menyangkut Teknis Penyusunan APBD. Dalam menyusun APBD 2017, pemerintah daerah dan DPRD harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut, di antaranya:
Kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2017 paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya Tahun Anggaran 2017.
Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah daerah harus memenuhi jadwal proses penyusunan APBD Tahun Anggaran 2017, mulai dari penyusunan dan penyampaian rancangan KUA dan rancangan PPAS kepada DPRD untuk dibahas dan disepakati bersama paling lambat akhir bulan Juli 2016. Selanjutnya, KUA dan PPAS yang telah disepakati bersama akan menjadi dasar bagi pemerintah daerah untuk menyusun, menyampaikan dan membahas rancangan peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2017 antara pemerintah daerah dengan DPRD sampai dengan tercapainya persetujuan bersama antara kepala daerah dengan DPRD terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2017, paling lambat tanggal 30 Nopember 2016, sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 312 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dalam membahas rancangan peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2017 antara kepala daerah dengan DPRD wajib mempedomani RKPD (Rencana Kerja Pemerintah Daerah, red), KUA dan PPAS untuk mendapat persetujuan bersama sebagaimana dimaksud Pasal 311 ayat (3) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Dalam hal rancangan peraturan daerah tentang APBD disampaikan oleh kepala daerah kepada DPRD paling lambat Minggu I bulan Oktober 2016, sedangkan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD dimaksud belum selesai sampai dengan tanggal 30 Nopember 2016, maka kepala daerah menyusun rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD untuk mendapatkan pengesahan dari Menteri Dalam Negeri bagi APBD Provinsi dan Gubernur bagi APBD Kabupaten/Kota sesuai Pasal 107 ayat (3) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011.
Rancangan peraturan kepala daerah dimaksud dapat ditetapkan setelah memperoleh pengesahan Menteri Dalam Negeri bagi Provinsi dan Gubernur bagi Kabupaten/Kota.
Untuk memperoleh pengesahan, rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2017 beserta lampirannya disampaikan paling lama 15 (lima belas) hari terhitung sejak DPRD tidak mengambil keputusan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2017.
Rancangan peraturan kepala daerah tentang APBD Tahun Anggaran 2017 harus memperhatikan:
a. Angka belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah dibatasi maksimum sama dengan angka belanja daerah dan pengeluaran pembiayaan daerah dalam Perubahan APBD Tahun Anggaran 2016 atau APBD Tahun Anggaran 2016 apabila tidak melakukan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2016;
b. Belanja daerah diprioritaskan untuk mendanai belanja yang bersifat mengikat dan belanja yang bersifat wajib untuk terjaminnya kelangsungan pemenuhan pelayanan dasar masyarakat sesuai dengan kebutuhan Tahun Anggaran 2017; dan
c. Pelampauan batas tertinggi dari jumlah pengeluaran hanya diperkenankan apabila ada kebijakan pemerintah untuk kenaikan gaji dan tunjangan PNSD serta penyediaan dana pendamping atas program dan kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah serta belanja bagi hasil pajak dan retribusi daerah yang mengalami kenaikan akibat adanya kenaikan target pendapatan daerah dari pajak dan retribusi dimaksud dari Tahun Anggaran 2017 sesuai maksud Pasal 109 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006, sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011.
“Melangkahi” peraturan
Apabila mengacu pada payung hukum versi Qanun Aceh maupun Permendagri itu yang pada pokoknya memiliki “kesimpulan akhir” yang sama lantaran merujuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, maka secara jadwal tahapan penyusunan APBA/APBD Provinsi Aceh 2017 telah molor alias “melangkahi” peraturan tersebut.
Pasalnya, rancangan KUA PPAS 2017 yang seharusnya sudah disepakati bersama paling lambat akhir bulan Juli 2016, tetapi sampai saat ini belum terwujud. Kondisi itu berefek belum terwujudnya pula persetujuan bersama terhadap Rancangan Qanun Aceh tentang APBA 2017, dari yang seharusnya paling lambat 30 November 2016.
Dalam peraturan perundangan-undangan itu memang diatur bahwa kepala daerah (gubernur) dapat menyusun rancangan peraturan kepala daerah/Pergub tentang APBA untuk mendapatkan pengesahan dari Mendagri. Akan tetapi, hal tersebut dapat dilakukan jika Rancangan Qanun Aceh tentang APBA 2017 sudah disampaikan gubernur kepada DPRA paling lambat minggu pertama Oktober, dan pembahasan rancangan qanun itu belum selesai sampai 30 November 2016.
Persoalannya, Rancangan Qanun tentang APBA 2017 sampai sekarang belum disampaikan gubernur kepada DPRA. Lantas, bagaimana bisa gubernur ingin menyusun rancangan Pergub tentang APBA 2017? Dan, apakah Mendagri mau mengesahkan rancangan Pergub itu jika jadwal tahapan sejak dari KUA dan PPAS 2017 tidak sesuai dengan ketentuan diatur dalam Permendagri 31/2016?
Qanun SOTK jadi “kambing hitam”
Selama ini publik sering mendengar “pembelaan” dari pihak Pemerintah Aceh dan DPRA bahwa keterlambatan penyusunan KUA dan PPAS 2017 lantaran harus menyelesaikan terlebih dahulu Qanun tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja (SOTK) Pemerintah Aceh yang baru. Pembentukan qanun itu menindaklanjuti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 tahun 2016 tentang Perangkat Daerah.
PP 18/2016 ditandatangani Presiden Jokowi pada 15 Juni 2016. Namun, Qanun SOTK baru disahkan DPRA dalam rapat paripurna, 9 Desember 2016. Ini menunjukkan Pemerintah Aceh dan DPRA telah menghabiskan—barangkali lebih tepat disebut “membuang-buang”—waktu cukup lama menyelesaikan qanun itu. Pasalnya, jarak antara ditetapkan PP 18/2016 dengan disahkannya Qanun SOTK mencapai enam bulan alias setengah tahun.
Qanun SOTK itu berkaitan erat dengan jabatan dan anggaran Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA). Itu sebabnya, tidak menutup kemungkinan pembahasan Rancangan Qanun SOTK itu diwarnai banyak kepentingan, sehingga terjadilah “permainan” elite Aceh yang akhirnya memakan waktu tidak singkat. Namun, elite Aceh kemudian menjadikan Qanun SOTK sebagai “kambing hitam” keterlambatan penyusunan hingga penetapan KUA dan PPAS 2017.
Kondisi tersebut semakin memperkuat dugaan publik bahwa Pemerintah Aceh dan DPRA tidak memiliki komitmen untuk menuntaskan APBA tepat waktu sebagaimana amanah peraturan perundang-undangan. Pasalnya, keterlambatan penetapan APBA bukan satu-dua kali, tetapi terjadi hampir saban tahun, sehingga terkesan sudah menjadi “penyakit kronis” di Aceh.
“Gertak” dan “mbong”
Untuk menutupi “penyakit” dalam bentuk “permainan” lantaran diduga disusupi banyak kepentingan yang “menguntungkan” kedua belah pihak, eksekutif dan legislatif lantas mengeluarkan jurus masing-masing. Satu pihak melempar “gertak”, lalu dibalas pihak lainnya dengan mempertahankan “mbong”, atau sebaliknya. Itu kerap dimunculkan para elite di puncak kekuasaan ketika terjadi keterlambatan penetapan APBA.
Kali ini tampak pihak eksekutif lebih dahulu “menggertak” agar legislatif tidak meneruskan kebiasaan mengulur-ulur waktu yang sudah terlanjur molor dari jadwal. Tidak menutup kemungkinan dalam pembahasan KUA PPAS hingga Rancangan APBA nantinya, giliran legislatif yang “menggertak”. Antara “gertak” dan “mbong” itu hanya membuat polemik panjang untuk menutupi “permainan” elite yang ujung-ujungnya penetapan APBA 2017 berpotensi semakin molor.
“Permainan” elite tersebut barangkali hanya dapat dihentikan, setidaknya akan “berkurang”, apabila muncul kekuatan rakyat, paling tidak diwakili elemen sipil atau kalangan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bersama masyarakat kampus (mahasiswa dan akademisi) termasuk warga dayah (santri dan teungku/ulama). Artinya, aktivis LSM, perwakilan perguruan tinggi dan dayah di Aceh harus terus bersuara, berteriak, dan mengawal lebih ketat proses pembahasan KUA PPAS hingga disahkan APBA 2017.[]
Penulis adalah rakyat Aceh, menetap di Lhokseumawe