- POLITIKACEH.CO | Banda Aceh – 15 Februari 2017 sudah tepat di depan mata, namun etika dalam perjalan Pilkada ini dinilai masih sangat lemah, dalam perjalanannya Aceh masih sangat memerlukan persatuan dalam pembangunan Aceh bukan malah saling jelek-menjelekan sesama, Pilihan boleh beda, tapi kita bersaudara.
“kita tidak harus saling menjelek-jelekkan sesama, semestinya kita harus bangga dengan banyaknya pemimpin-pemimpin yang masih peduli terhadap Aceh,” ungkap Ishak Yusuf yang akrab disapa Chek kepada politikaceh.co, rabu (08/02).
Ishak menambahkan, “Pilkada ini bukan ajang bunuh-membunuh dan bukan saling maki-memaki sesama tetapi kita harus mencari solusi bagaimana kita menyelesaikan persoalan Aceh yang hari ini masih dalam pembodohan oleh para elit politik yang berkepentingan untuk pribadinya”.
“Seharusnya kita semua bisa menilai sosok pemimpin yang bukan didorong oleh para penjajah Aceh terdahulu, yang hari ini sebagian ingin menjadi pemimpin Aceh pada 2017 ini,” tegasnya.
“Beberapa tahun dahulu para pemimpin Aceh seharusnya sadar bahwa dia tidak mampu untuk memimpin Aceh, Akan tetapi sebaliknya yang kita lihat, ada beberapa Kandidat yang mencalonkan diri pada Pilkada gubernur 2017 ini, dan ini hanya merupakan keinginan nafsu dirinya sendiri untuk mencari jabatan, bukan untuk kepentingan masyarakat Aceh dan agama, tanpa kita sadari pada saat ini kita Aceh lagi ingin dihancurkan oleh para yahudi yang tidak suka dengan agama islam dan yang tidak suka dengan suku Aceh, cuma kita semua belum sadar?,” jelas Ishak.
Ia menambahkan, “saya sangat berharap kepada masyarakat Aceh agar paham benar dengan politik yang dimainkan oleh para elit politik untuk menghancurkan kita bangsa Aceh dan kita masyarakat harus mencari jalan yang benar dalam pilkada ini ataupun kita harus mengikuti arahan dari ulama Aceh agar kita semua tidak sesat dalam pilkada 2017 ini”.
“Setelah itu jangan sampai kita menghina ulama, karena ulama adalah pewaris para nabi,” tambah Ishak.
Dalam kesempatan Ishak Yusuf berharap, “para calon gubernur Aceh yang pernah menghina ulama agar dibukakan pintu hati untuk bisa meminta maaf atau taubat kembali”.||